Friday, November 16, 2012

Tantangan Ilmu Manajemen




Kisah ini akan selalu dikenang dunia bisnis sebagai merger terbesar abad 20. Perusahaan raksasa Chrysler dari US bergabung dengan perusahaan elite Germany Daimler-Benz. Perusahaan baru ini bernama: Daimler-Chrysler. Otak brillian di balik merger ini adalah Jurgen Erich Schrempp, CEO Daimler-Benz AG.

Semua berawal di 1998. Nilai perusahaan Chrysler US$ 36 miliar dianggap Daimler-Benz harga yg murah karena dengan merger ini Daimler dapat masuk ke pasar mobil mewah di US, sementara Chrysler dapat merajai pasar Eropa mengalahkan saingan lokalnya Ford dan GM. Para pelaku bisnis -CEO, jurnalis, analis - sangat optimis dengan mega-merger ini, diperkirakan kapitalisasi pasar Daimler-Chrysler setelah 5 tahun akan mencapai US$ 100 miliar. Pada hari mega-merger ditandatangani, harga saham Chrysler melonjak 17,6% hanya dalam sehari perdagangan, sementara harga saham Daimler-Benz naik 6,4%.

Enam bulan kemudian, persoalan pertama timbul di Daimler-Chrysler, media bisnis melaporkan terjadinya culture clash. Lalu di th 2000, terjadilah kejutan: Chrysler mencatat kerugian. Schrempp memecat Presdir Amerika, James P.Holden, dan menggantinya dengan Dieter Zetsche. Orang Jerman baru ini segera saja memecat 26.000 pegawai, dan mengganti eksekutif-eksekutif amerika dengan orang jerman.

Di 2006,  kerugian Daimler-Chrysler Amerika mencapai US$ 1,2 miliar. Sementara di Jerman, keadaan tidak lebih baik: terjadi beberapa kali penarikan produk, dan Daimler Jerman merugi US$ 3,6 miliar.

Sang brillian, Schrempp, akhirnya mengundurkan diri di 2005, atau tepatnya dipaksa mundur oleh para pemegang saham. Puncaknya terjadi di Mei 2007, Daimler AG menjual sahamnya di Daimler-Chrysler kepada perusahaan investasi Cerberus, senilai hanya US$ 650 juta, sangat amat murah dibanding harga akuisisi yang dibayar Daimler-Benz US$ 36 miliar. Terjadi pengurangan pegawai di kedua perusahaan yang telah bercerai itu, berturut–turut 13.000 dan 12.100 di th 2007 dan 2008.

Apa yg salah dengan manajemen kelas dunia Daimler-Benz dan Chrysler? Apakah mereka tidak pernah belajar ilmu manajemen dari pada guru manajemen sehingga keliru mengambil keputusan?

Guru manajemen tentu saja ada di mana-mana. Di toko buku kita dapat temukan buku-buku best-seller manajemen berbagai topik dari berbagai guru. Salah satunya yang populer di era 1990-an, dengan judul fantastis (seakan penulisnya ingin menyamai Karl-Marx); Reengineering the Corporation: A Manifesto for Business Revolution. Penulisnya, Michael Hammer mengklaim dalam buku ini:

”Reengineering bukanlah melakukan proses bisnis melalui incremental improvement.. Tujuan utama reengineering adalah loncatan kuantum dalam performa – 100 persen atau bahkan 10 kali lipat perbaikan yang dapat dicapai melalui proses bisnis dan struktur kerja yang sama sekali baru.”

Reengineering menjadi hit baru dalam ilmu manajemen. Survei dari salah satu konsultan internasional ternama menyebut bahwa Reengineering digunakan oleh 61% perusahaan amerika di masa itu. Tapi kini, Reengineering tak pernah lagi terdengar atau dibicarakan di sekolah-sekolah bisnis. Ia telah menjadi sejarah ilmu manajemen.

Sejarah ilmu manajemen bukan hanya berisikan teori Reengineering, tapi juga banyak teori manajemen lain. Sebut saja Management by Objectives, the Managerial Grid, the System Approach, Experience Curves, BCG Growth Matrix, dan yang terbaru Total Quality Management (TQM).

Ilmu manajemen, tak ubahnya seperti fashion. Di tiap era, ia mempunyai pemuja dan pengikutnya tersendiri, di era berikutnya ia ditinggalkan karena tidak lagi menarik, atau justru tak lagi mujarab.

Salah satu buku klasik ilmu manajemen, yang masih kita temukan di perpustakaan, adalah In Search of Excellence: Lessons from America’s Best-Known Companies, karya Tom Peters yang ditulis 1982. Ini adalah buku klasik manajemen yang bertengger di puncak best-seller dan terjual jutaan copy dalam berbagai bahasa. Penulisnya melakukan riset terhadap 32 perusahaan terbaik amerika dan mensaripatikan 8 resep sukses utama yang dapat diteladani oleh para manajer di seluruh dunia. Buku ini, sebagaimana Reengineering, segera saja menjadi block-buster.

Bagaimana nasib 32 perusahaan itu sekarang? Lima berakhir bangkrut. Enam diakuisisi oleh perusahaan lain. Artinya 1 dari 3 perusahaan yang menjadi idola di 1982 (excellent !) kini di 2010 telah almarhum. Bagaimana dengan 21 perusahaan yg tersisa? Dua belas mencatatkan return saham yang lebih baik daripada S&P 500, dan 9 perusahaan lagi lebih buruk dari S&P 500. Standard&Poor 500 adalah indeks dari 500 saham perusahaan terbaik di amerika. Kesimpulan: dari 32 perusahaan unggul di 1982, setelah hampir 3 dekade, hanya 12 yang masih tetap unggul. Atau dalam statistik sederhana, dari 32 perusahaan unggul th 1982, setelah tiga dekade: 12 akan tetap unggul, 9 menjadi medioker, 11 almarhum.

Jadi apakah 8 resep sukses bisnis mujarab dari Tom Peters kini tidak lagi manjur?

Pecinta buku ilmu manajemen tak perlu khawatir. Guru dan buku manajemen akan selalu terbit baru di setiap era. Best-seller berikutnya di th 1994 adalah Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies, karya Jim Collins. Dengan metode riset yang sama dengan Tom peters, Jim Collins merangkum 18 perusahaan terhebat di amerika dan menyodorkan resep kebiasaan perusahaan-perusahaan visioner yang akan bertahan langgeng.

Langgeng? Tampaknya Jim Collins lebih beruntung daripada pendahulunya Tom Peters. Sampai kini 18 perusahaan itu masih eksis, dengan berbagai macam kinerja. Sony, Motorola, IBM, dan Ford misalnya, sekarang kinerjanya memburuk. Di 2010, dari 18 perusahaan pilihan Collins, sembilan berkinerja lebih baik daripada S&P 500, sembilan lagi lebih buruk (dengan kata lain 9 perusahaan itu berkinerja lebih buruk dari rata-rata). Kita tidak tahu bagaimana nasib perusahaan-perusahaan unggul itu satu dekade lagi. Time will tell, but not gurus.

Kasus terbaru: Toyota pelopor TQM yang menjadi buah bibir manajemen dan bisnis dalam satu dekade terakhir kini mengalami ‘kesialan’ beruntun. Toyota terpaksa menarik ribuan produknya dari pasar Amerika, Eropa, dan Asia. Apa yang terjadi dengan resep bisnis Toyota yang dipuji-puji pakar manajemen? 
Akankah era TQM akan berakhir sebagaimana resep-resep manajemen pendahulunya?
Akankah Balance-Score-Card atau Malcolm Baldrige atau Business-Model Canvas bertahan lama?
Once again, only time – not gurus – will tell.

Apa yang dapat kita pelajari dari kisah-kisah manajemen ini?
-         Tidak ada resep bisnis dan manajemen yang dapat 100 persen menjamin keberhasilan, meskipun diterapkan sama persis. Apa yang berkinerja baik untuk perusahaan A, belum tentu bekerja atau berkinerja sama baiknya untuk perusahaan B.
-          Tidak perlu menjadi copycat teori ilmu manajemen terbaru, karena ketika perusahaan copycat ini berhasil menerapkan teori ini 100 persen, bisa jadi teori itu sudah usang dan tidak berlaku. Atau bisa jadi perusahaan copycat ini tidak akan berhasil 100 persen menerapkan teori manajemen itu karena perbedaan fundamental bisnis dan budaya perusahaan.
-          Ilmu manajemen bukanlah exact science, seperti engineering, melainkan dismal science seperti ekonomi, yang senantiasa berubah karena melibatkan sangat banyak variabel. Eksekutif dan para manajer dituntut selalu mengikuti perubahan ilmu manajemen dan dinamika dunia bisnis. Apa yang berhasil di hari ini, belum tentu berhasil esok hari. []
 


No comments:

Post a Comment