Kisah ini akan selalu dikenang dunia bisnis sebagai
merger terbesar abad 20. Perusahaan raksasa Chrysler dari US bergabung dengan
perusahaan elite Germany Daimler-Benz. Perusahaan baru ini bernama:
Daimler-Chrysler. Otak brillian di balik merger ini adalah Jurgen Erich
Schrempp, CEO Daimler-Benz AG.
Semua berawal di 1998. Nilai perusahaan Chrysler US$ 36
miliar dianggap Daimler-Benz harga yg murah karena dengan merger ini Daimler
dapat masuk ke pasar mobil mewah di US, sementara Chrysler dapat merajai pasar
Eropa mengalahkan saingan lokalnya Ford dan GM. Para pelaku bisnis -CEO,
jurnalis, analis - sangat optimis dengan mega-merger ini, diperkirakan
kapitalisasi pasar Daimler-Chrysler setelah 5 tahun akan mencapai US$ 100 miliar.
Pada hari mega-merger ditandatangani, harga saham Chrysler melonjak 17,6% hanya
dalam sehari perdagangan, sementara harga saham Daimler-Benz naik 6,4%.
Enam bulan kemudian, persoalan pertama timbul di
Daimler-Chrysler, media bisnis melaporkan terjadinya culture clash. Lalu di th
2000, terjadilah kejutan: Chrysler mencatat kerugian. Schrempp memecat Presdir
Amerika, James P.Holden, dan menggantinya dengan Dieter Zetsche. Orang Jerman
baru ini segera saja memecat 26.000 pegawai, dan mengganti eksekutif-eksekutif
amerika dengan orang jerman.
Di 2006, kerugian
Daimler-Chrysler Amerika mencapai US$ 1,2 miliar. Sementara di Jerman, keadaan
tidak lebih baik: terjadi beberapa kali penarikan produk, dan Daimler Jerman
merugi US$ 3,6 miliar.
Sang brillian, Schrempp, akhirnya mengundurkan diri di
2005, atau tepatnya dipaksa mundur oleh para pemegang saham. Puncaknya terjadi
di Mei 2007, Daimler AG menjual sahamnya di Daimler-Chrysler kepada perusahaan
investasi Cerberus, senilai hanya US$ 650 juta, sangat amat murah dibanding
harga akuisisi yang dibayar Daimler-Benz US$ 36 miliar. Terjadi
pengurangan pegawai di kedua perusahaan yang telah bercerai itu, berturut–turut
13.000 dan 12.100 di th 2007 dan 2008.
Apa yg salah dengan manajemen
kelas dunia Daimler-Benz dan
Chrysler? Apakah mereka tidak pernah belajar ilmu manajemen dari pada guru
manajemen sehingga keliru mengambil keputusan?
Guru manajemen tentu saja ada di mana-mana. Di toko buku
kita dapat temukan buku-buku best-seller manajemen berbagai topik dari berbagai
guru. Salah satunya yang populer di era 1990-an, dengan judul fantastis (seakan
penulisnya ingin menyamai Karl-Marx); Reengineering the Corporation: A Manifesto
for Business Revolution. Penulisnya, Michael Hammer mengklaim dalam buku ini:
”Reengineering bukanlah melakukan proses bisnis melalui
incremental improvement.. Tujuan utama reengineering adalah loncatan kuantum
dalam performa – 100 persen atau bahkan 10 kali lipat perbaikan yang dapat
dicapai melalui proses bisnis dan struktur kerja yang sama sekali baru.”
Reengineering menjadi hit baru dalam ilmu manajemen.
Survei dari salah satu konsultan internasional ternama menyebut bahwa
Reengineering digunakan oleh 61% perusahaan amerika di masa itu. Tapi kini,
Reengineering tak pernah lagi terdengar atau dibicarakan di sekolah-sekolah
bisnis. Ia telah menjadi sejarah ilmu manajemen.
Sejarah ilmu manajemen bukan hanya berisikan teori
Reengineering, tapi juga banyak teori manajemen lain. Sebut saja
Management by Objectives, the Managerial Grid, the System Approach, Experience
Curves, BCG Growth Matrix, dan yang terbaru Total Quality Management (TQM).
Ilmu
manajemen, tak ubahnya seperti fashion. Di tiap era, ia mempunyai pemuja dan
pengikutnya tersendiri, di era berikutnya ia ditinggalkan karena tidak lagi
menarik, atau justru tak lagi mujarab.
Salah
satu buku klasik ilmu manajemen, yang masih kita temukan di perpustakaan,
adalah In Search of Excellence: Lessons from
America’s Best-Known Companies, karya Tom Peters yang ditulis 1982. Ini
adalah buku klasik manajemen yang bertengger di puncak best-seller dan terjual
jutaan copy dalam berbagai bahasa. Penulisnya melakukan riset terhadap 32
perusahaan terbaik amerika dan mensaripatikan 8 resep sukses utama yang dapat
diteladani oleh para manajer di seluruh dunia. Buku ini, sebagaimana
Reengineering, segera saja menjadi block-buster.
Bagaimana nasib 32 perusahaan itu sekarang? Lima berakhir
bangkrut. Enam diakuisisi oleh perusahaan lain. Artinya 1 dari 3 perusahaan
yang menjadi idola di 1982 (excellent !) kini di 2010 telah almarhum. Bagaimana
dengan 21 perusahaan yg tersisa? Dua belas mencatatkan return saham yang lebih
baik daripada S&P 500, dan 9 perusahaan lagi lebih buruk dari S&P 500. Standard&Poor 500 adalah indeks dari 500 saham perusahaan terbaik di amerika. Kesimpulan: dari 32 perusahaan unggul di 1982, setelah hampir 3 dekade,
hanya 12 yang masih tetap unggul. Atau dalam statistik sederhana, dari 32
perusahaan unggul th 1982, setelah tiga dekade: 12 akan tetap unggul, 9 menjadi
medioker, 11 almarhum.
Jadi apakah 8 resep sukses bisnis mujarab dari Tom Peters
kini tidak lagi manjur?
Pecinta buku ilmu manajemen tak perlu khawatir. Guru dan
buku manajemen akan selalu terbit baru di setiap era. Best-seller
berikutnya di th 1994 adalah Built to
Last: Successful Habits of Visionary Companies, karya Jim Collins. Dengan
metode riset yang sama dengan Tom peters, Jim Collins merangkum 18 perusahaan
terhebat di amerika dan menyodorkan resep kebiasaan perusahaan-perusahaan
visioner yang akan bertahan langgeng.
Langgeng?
Tampaknya Jim Collins lebih beruntung daripada pendahulunya Tom Peters. Sampai kini
18 perusahaan itu masih eksis, dengan berbagai macam kinerja. Sony, Motorola, IBM, dan Ford misalnya, sekarang kinerjanya memburuk. Di
2010, dari 18 perusahaan pilihan Collins, sembilan berkinerja lebih baik
daripada S&P 500, sembilan lagi lebih buruk (dengan kata lain 9 perusahaan
itu berkinerja lebih buruk dari rata-rata). Kita tidak tahu bagaimana nasib perusahaan-perusahaan unggul itu satu
dekade lagi. Time will tell, but not gurus.
Kasus terbaru: Toyota pelopor TQM yang menjadi buah bibir
manajemen dan bisnis dalam satu dekade terakhir kini mengalami ‘kesialan’
beruntun. Toyota terpaksa menarik ribuan produknya dari pasar Amerika, Eropa, dan Asia. Apa yang terjadi dengan resep
bisnis Toyota yang dipuji-puji pakar manajemen?
Akankah era TQM akan berakhir
sebagaimana resep-resep manajemen pendahulunya?
Akankah Balance-Score-Card atau Malcolm Baldrige atau Business-Model Canvas bertahan
lama?
Once
again, only time – not gurus – will tell.
Apa yang dapat kita pelajari dari kisah-kisah manajemen ini?
- Tidak ada resep bisnis dan manajemen yang dapat 100 persen
menjamin keberhasilan, meskipun diterapkan sama persis. Apa yang berkinerja
baik untuk perusahaan A, belum tentu
bekerja atau berkinerja sama baiknya untuk perusahaan B.
-
Tidak perlu menjadi
copycat teori ilmu manajemen terbaru, karena ketika perusahaan copycat ini
berhasil menerapkan teori ini 100 persen, bisa jadi teori itu sudah usang dan
tidak berlaku. Atau bisa jadi perusahaan copycat ini tidak akan berhasil 100
persen menerapkan teori manajemen itu karena perbedaan fundamental bisnis dan budaya
perusahaan.
-
Ilmu manajemen bukanlah
exact science, seperti engineering, melainkan dismal science seperti ekonomi,
yang senantiasa berubah karena melibatkan sangat banyak variabel. Eksekutif dan
para manajer dituntut selalu mengikuti perubahan ilmu manajemen dan dinamika dunia
bisnis. Apa yang berhasil di hari ini, belum
tentu berhasil esok hari. []