Thursday, November 7, 2013

Pentingnya Human Capital dalam Era Hyper-competition

The river where you set your foot just now is gone,
Those waters giving way to this, now this. ~ Heraclitus

Tidak seorang pun dapat menginjakkan kaki dua kali di sungai yang sama. Kendati kedalaman air, temperature, dan debit air adalah sama, tidak berubah, namun molekul air yang selalu mengalir ke muara itu bukanlah air yang sama. Dunia selalu berubah dan dinamis, demikian isi pesan filsuf Heraclitus.

Seiring dengan makin berumurnya perusahaan, kondisi yang dihadapi tidak pernah sama, baik internal maupun eksternal. Dari sisi internal, manajemen puncak senantiasa berubah, leadership style berubah, konsep-konsep manajemen yang dianut pun berubah. Dari sisi eksternal, peta persaingan bisnis selalu berubah, cenderung makin cepat dan ketat. Era kapitalisme millennium baru ini, oleh beberapa pakar manajemen disebut era hyper-competition. Seperti yang kita temukan dalam kehidupan keseharian, kini tak ada lagi produk tanpa pesaing. Apple yang merintis iPad, bisa dengan mudah dibongkar produknya dan lalu ditiru oleh produsen gadget dari Jepang, Korea, China, bahkan Indonesia. Yamaha yang merintis motor matic, tak berapa lama dikejar oleh pesaingnya Honda dan Suzuki. Di dunia bisnis era ini, tak ada pemain yang boleh percaya diri dan merasa nyaman di posisinya.

Dalam kondisi persaingan yang amat dinamis ini, amat penting bagi perusahaan untuk mempertahankan dan mendapatkan top talents, yakni sumber daya manusia yang unggul dalam merespon persaingan. Ekonom Joseph Schumpeter, menyebutkan sebuah siklus dalam dunia bisnis dan ekonomi yang disebutnya Creative Destruction. Kita masih ingat Kodak yang kini telah almarhum, sebagai bentuk dari destruksi kreatif. Kodak tidak cukup cepat merespon dinamika bisnis, sehingga bangkrut akibat pasar fotografi dan film telah beralih ke digital. Di industry telekomunikasi, kita ingat Siemens dan Ericsson yang terpaksa keluar dari sektor mobile phone karena kalah bersaing.

Geoffrey B. West, seorang fisikawan senior dan mantan presiden Santa Fe Institute, meneliti bahwa perusahaan atau korporasi dalam dunia bisnis ekonomi memiliki kemiripan (scalability) dengan organisme hidup. Dia menyebut kedua eksistensi yang berbeda ini memiliki kesamaan dalam adaptive complex system. Ini artinya seperti makhluk biologis, maka korporasi atau perusahaan memiliki sistem yang kompleks yang berkembang dan tumbuh merespon lingkungan. Makin besar ukuran (asset dan profitability), pada umumnya makin panjang harapan hidupnya. Seperti gajah dengan semut, seperti itulah ExxonMobil dengan Primagama misalnya. Salah satu perbedaan penting antara organism dan korporasi, dari riset ini, adalah bahwa data korporasi memiliki lebih banyak variance daripada data organism. Ini artinya korporasi lebih memiliki kendali dalam takdirnya dibandingkan dengan organism. Dalam proses penuaan menuju kematian (aging process), sebuah korporasi masih memiliki banyak pilihan untuk melawan proses penuaan, dibandingkan dengan organism. Di sinilah letak pentingnya sumber daya manusia dalam perusahaan, yakni sebagai adaptive system dalam korporasi yang melakukan pilihan dan tindakan. Bukan ekuitas atau aset tetap yang memiliki sifat adaptive, melainkan human capital.

Di era millennium ini tidaklah mudah mengelola human capital. William Strauss dan Neil Howe mempopulerkan sebutan Generasi Millenial (atau Net Generation atau Generasi Y) bagi generasi pekerja kelahiran 1980 – 1990 an. Generasi ini disinyalir oleh para psikolog memiliki karakteristik cepat bosan, menuntut fleksibilitas kerja tinggi, open-minded, out-spoken, information resourceful, multitasking. Aspirasi generasi ini, yang bila dapat dipenuhi akan membuatnya betah di tempat kerja, adalah: pencapaian prestasi, berkontribusi pada social masyarakat, mendapatkan insentif yang bermanfaat bagi keluarga, dan berkesempatan memperoleh tantangan kerja. Suatu perusahaan tidak lagi cukup memberikan kompensasi dan benefit yang layak, namun juga harus mampu melibatkan pekerjanya dalam mencapai tujuan perusahaan (engagement). Survei terbaru majalah SWA edisi XXIX, mengemukakan hasil survey yang cukup mengejutkan bagi pola pikir lama. Hanya 29% dari responden yang mengutamakan Kompensasi sebagai alasan utama memilih tempat bekerja. Responden terbanyak (31%) memilih Citra Perusahaan sebagai alasan utama. Sementara 10% mengutamakan Kesempatan Karir, 8% mengutamakan Lingkungan Tempat Kerja, 7% mengutamakan Minat Personal. 

Pentingnya membuat pekerja terlibat juga ditunjukkan sejumlah riset yang meneliti dampaknya. Gallup (2004) menemukan kaitan penting employee engagement dengan loyalitas pelanggan, pertumbuhan bisnis, dan profitabilitas. Sejumlah peneliti lain menemukan bahwa perusahaan dengan lebih banyak pekerja yang engaged mampu mencatat pertumbuhan revenue di atas rata-rata. 

Sejatinya, riset SWA yang bekerja sama dengan HayGroup ini menegaskan kembali riset lama professor Richard Layard dari London School of Economics tentang Happiness dan Life Satisfaction. Menurut Layard, tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup tidak meningkat signifikan begitu orang mencapai tingkat level pendapatan tertentu. Beberapa periset menyebut angka USD 16.000 setahun (berdasarkan purchasing power parity). Di Jepang, pendapatan rumah tangga meningkat lima kali lipat selama periode 1958 – 1987, akan tetapi tingkat kepuasan hidup tidak banyak meningkat pada periode yang sama.

Kini mari kita rangkum semua data di atas menjadi sebuah ingatan. Sebuah organisasi atau korporasi pasti akan menua dan mati oleh kompetisi atau perubahan lingkungan. Itu hanya soal waktu. Ada perusahaan yang berusia 30 tahun, 100 tahun, 200 tahun, atau lebih. Namun ada satu faktor penentu sebagai sistem / organ vital yang dapat melawan proses penuaan atau destruksi kreatif itu, yakni human capital. Di era millennium kini, diperlukan lebih dari sekedar paket kompensasi dan benefit untuk mengelola human capital, yakni engagement atau keterlibatan human capital dalam mencapai tujuan perusahaan. Pola manajemen terpusat yang seluruh kebijakan dirumuskan final oleh top management, di masa kini kurang relevan lagi dengan pola kompetisi yang berubah makin cepat dan human capital yang telah berubah generasi menjadi multitasking, information resourceful, dan menginginkan keterlibatan.
(c) eprad.blogspot.com